Sabtu, 14 April 2012

SISTEM IMUN


SISTEM IMUN DIBAWAH KONTROL GENETIK

1.        PENDAHULUAN
Suatu substansi asing yang disebut antigen, misalnya protein, asam nukleat, polisakarida,  lipida dari bakteri, virus bila memasuki aliran darah dari mamalia akan memicu mekanisme pertahanan yaitu respon imun yang mengakibatkan sintesis kelompok protein yang sangat penting yaitu antibodi. Antibodi-antibodi tersebut mengikat antigen-antigen dengan spesifikasi khusus dan membuang antigen dari sistem sirkulasi. Pada dekade terakhir, para ilmuwan telah menemukan sekuen-sekuen DNA yang mengkode susunan antibodi yang dihasilkan oleh sistem imun mamalia yang terakit selama diferensiasi sel-sel penghasil antibodi dengan adanya suatu set penyusunan kembali genom (genome rearrangement). 
2.        KOMPONEN SISTEM IMUN
Terdapat tiga tipe sel darah putih yang berperan dalam respon imun vertebrata yaitu :
a.         Limfosit B, disebut sel B karena diproduksi oleh bone marrow (sumsum tulang)
b.        Limfosit T, disebut sel T yang diproduksi dalam kelenjar timus
c.         Makrofag
Antibodi-antibodi disintesis oleh limfosit B dam antibody ini bisa disekresi atau tetap terikat membran pada permukaan sel B,  tergantung kondisinya, selama respon imun humoral/cair, antibodi mengikat antigen bebas dalam sistem sirkulasi dan mengaglutinasinya. Hasilnya adalah kompleks antibodi-antigen yang kemudian didigesti atau didegradasi oleh makrofag. Limfosit T menjadi perantara dalam respon imun sel. Sel T mensintesis reseptor-reseptor yang mengenali antigen-antigen pada permukaan sel dan memicu lisisnya sel-sel yang mengandung antigen melalui aktivasi sel-sel T.  Limfosit T yang berbeda akan menunjukkan cara kerja yang berbeda pula. Secara umum serangan sel T yang membawa antigen membutuhkan reseptor yang spesifik dan satu atau lebih histocompatibility.

Gambar 1. Skema utama komponen respon imun vertebrata

Keterangan gambar 1
suatu substansi asing seperti protein pembungkus virus yang bertindak sebagai antigen memicu sintesis seumlah besar antibodi yang bereaksi spesifik tehadap antigen dan membuangnya dari sistem sirkulasi. Terdapat dua respon imun yang terjadi: 1) Limfosit B mensintesis dan mensekresikan antibody yang akan mengikat antigen-antigen bebas dalam aliran darah, kompleks tersebut kemdian di inesti dan dihamcurkan oleh makrofag. 2) limfosit T mensintesis reseptor antigen yang tatap terikat membran pada permukaan sel-sel T. Reseptor antigen bekerja bersama dengan reseptor antigen istocompatibility untuk mengenali dan menghancurkan sel-sel yang membawa antigen. Dengan demikian antigen sel-sel B melakukan respon imun humoral dan sel-sl T melakukan respon imun selular.        
3.        BERBAGAI KAJIAN ANTIBODI
Sistem imun bila ditinjau dari aspek genetika memiliki banyak keanekaragaman yang besar dari antibody yang dapat disintesis dalam merespon antigen yang sebelumnya belum diketahui pada hewan. Tidak diketahui secara pasti berapa antibodi yang dihasilkan pada tikus ataupun manusia, secara jelas  diketahui bahwa antibody yang dihasilkan sangat banyak.  Genome pada manusia( misalnya pada manusia, satu dari masing-masing 23 pasang kromosom manusia) mengandung 3 x 109 pasangan nukleotida. Jika semua DNA berada dalam bentuk gen-gen dengan “uninterupted coding sequences” yang masing-masing panjangnya 1000 nukleotida., genom tersebut akan mengandung 3 juta gen. telah diketahui bahwa kebanyakan dari gen-gen mengkode beraneka ragam molekul RNA, enzim dan protein struktural. Gen-gen tersebut juga mengandung banyak”long noncoding intron”.
4.        BABERAPA HIPOTESIS: DASAR GENETIKA KEANEKARAGAMAN ANTIBODI
Ada tiga hipotesis yang menjadi dasar keanekaragaman antibody, diantaranya:
a)         Hipotesis germ line
Menyatakan bahwa terdapat gen germ line yang terpisah untuk setiap antibody
b)        Hipotesis somatic mutation
Menyatakan bahwa terdapat satu atau beberapa gen germ line spesifik untuk setiap kelas antibody dan keanekaragamannya disebabkan oleh tingginya frekuensi mutasi somatik, yaitu mutasi pada sel-sel somatic penghasil antibodi atau dalam garis yang mengarah pada sel-sel penghasil antibodi.
c)        Hipotesis minigene
Menyatakan bahwa keanekaragaman disebabkan oleh shuffling (dikocok) segmen-segmen kecil beberapa gen menjadi sejumlah besar kemungkinan kombinasi, shuffling terjadi karena proses rekombinasi dalam sel-sel somatik.
Diketahui bahwa hipotesis minigene menjelaskan keanekaragaman yang dapat diamati, demikian pula keanekaragaman somatik juga memiliki kontribusi keanekaragaman. Dari rantai antibody terspesifikasi oleh suatu gen yang ada pada genom dengan sedikit kopian. Demikian ketiga hipotesis dapat diterima dan benar dalam hal tertentu.







5.        STRUKTUR ANTIBODI
Gambar 2: Struktur antibody
Setiap antibody meruakan tetramer yang tersusun atas empat rantai polipeptida 2 rantai beratyang identik dan 2 rantai ringan yang. Setiap rantai terdiri atas variable region dan constant region. Setiap antibody memiliki dua antigen binding site yang tersusun atas variable region rantai berat dan ringan. Rantai berat dan ringan dihubungkan dengan ikatan disulfida  

Antibodi termasuk kelas protein yang disebut immunoglobulin. Setiap antibody adalah tetramer yang tersusun atas 4 polipeptida, 2 rantai ringan yang identik dan 2 rantai berat yang identik tergabung oleh ikatan disulfida.rantai ringan panjangnya kurang lebih 220 asam amino dan rantai berat kurang lebih 440-450 asam amino variable region, diman sekuen asam amino bervariasi diantara antibody spesifik untuk antigen-antigen yang berbeda dan suatu ujung karboksil constant region dimana sekuen asam aminonya sama untuk semua antibody dari kelas immunoglobulin(Ig) tertentu, tergantung spesifikasi antigen-binding. Variable region pada semua rantai antibodi panjangnya kurang lebih 110 asam amino. Daerah khusu yang mambawa fungsi khusus disebut domain. Setiap antibody memiliki 2 antigen-binding site atau domain, masing- masing dibentuk oleh daerah yang bervariasi (variable region)dari satu rantai ringan dan rantai berat. Daerah konstan(constant region) dari dua rantai berat berinteraksi membentuk domain ketiga yang disebut Effector function domain,  yang dapat merespon interaksi yang sesuai dari antibodi dan dengan komponen lain sistem imun.

Terdapat lima kelas antibody yaitu IgM, IgD, IgG, IgE, IgA. pengelompokan dan fungsi dari antibody tersebut ditentukan oleh struktur rantai berat daerah konstan (heavy chain constant region) yaitu struktur dari effector function domainnya.  Sebagai contoh pada antibody IgD biasanya tetap terikat pada permukaan sel tempat mereka disintesis, sedangkan antibody IgG biasanya disekesikan dan disirkulasikan ke seluruh tubuh. Rantai ringan memiliki dua tipe yaitu kappa dan lambda. Struktur ini ditetukan oleh struktur rantai ringan daerah konstan (light chain constant region). Antibodi memiliki spesifikasi antigen-binding yang sama yang di tentukan oleh variable region pada keempat rantai  tetapi fungsi imunologisnya berbeda, fungsi tersebut ditentukan oleh constant region pada dua rantai berat.
Antibodi memiliki keanekaragaman pada bagian terbesar dari variable region suatu molekul. Jika olipeptida disintesis dari sekuen gen “collinear nucleotide pair”, satu gen dari setiap rantai polipeptida  genome akan mengandung susunan gen yang sangat besar dengan sekuen yang bervariasi pada satu ujung dan sekun yang identik di ujung lain.
6.        KENEKARAGAMAN ANTIBODI: PENYUSUNAN KEMBALI GENOME (GENOME REARRANGEMENT) SELAMA DIFERENSIASI LIMFOSIT B
Informasi genetik pengkode rantai antibodi tersimpan pada potongan dan perangkat (bits and pieces) potongan rantai terpasang pada sekuen yang sesuai genome rearrangement selama perkembangan sel penghasil antibody (Limfosit B). Masing-masing limfosit B hanya memproduksi antibodi tipe tunggal. Semua antibody yang dihasilkan oleh limfosit B tertentu memiliki spesifikasi antigen-binding yang sama. Rantai antibody disintesis menggunakan informasi yang tersimpan dalam berbagai gen dari segmen-segmen gen yang berbeda.
Kappa light chain (Rantai Ringan Kappa) 

 Sintesis rantai ringan kappa dikontrol oleh tiga segmen yang berbeda yaitu.
a.        Segmen gen Vk
Pengkode ujung N asam amino 95 pada daerah yag bervariasi (variable region)
b.        Segmen gen Jk (joining segment)
Pengkode´”constant region-proximal” asam amino pada variable region
c.         Segmen gen CK
Pengkode ujung C daerah konstan. Segmen keempat  adalah segmen LK berfungsi mengkode ujung N hydrofobi leader sequences asam amino yang panjangnya 17-20 , yang penting untuk transport rantai antibodi melalui membrane sel. “leader sequences” akan terputus dari rantai saat melewati membran sehingga bukan bagian dari antibodi keseluruhan.
     Pada tikus dan manusia semua segmen gen rantai kappa berlokasi pada kromosom yang sama, yaitu kromosom 2 pada manusia. Begitu juga pada segmen gen lambda ( Pada kromosom ke-22 pada manusia), dan segmen gen rantai berat (pada kromosom ke-14 pada manusia). Terdapat sejumlah besar segmen gen VK kurang lebih 300 ang masing-masing berdekatan dengan segmen gen LK, disisi lain terdapat satu segmen gen CK, lima segmen gen JK (satu diantaranya nonfungsional pada tikus) berlokasi diantara segmen gen VK dan segmen gen CK
       Dalam sel-sel germ line  lima segmen JK terpisah dengan segmen VK dengan sekuen non koding yang panjang dan dari segmen CK dengan sekuen non koding yang memiliki panjang sekitar 2000 pasang nukleotida. Selama perkembangan limfosit B, gen rantai ringan kappa khusus yang akan di ekspresikan dalam sel tersebut akan dirkit dari satu segmen LK-VK satu segmen JK, dan segmen tunggal CK melalui proses rekombinasi somatik. Proses tersebut menggabungkan salah satu dari sekitar 300 LK-VK dengan salah satu dari lima segmen JK dengan delesi dari semua DNA intervening. Hal ini menghasilkan befungsinya segmen gen VKJK pengkode keseluruhan variable region dari rantai kappa. Sekuen non koding diantara kelompok segmen gen Jk, segmen gen CK, dan segmen CK-proximal JK. Jika ada ttap berada diantara segmen VKJK dan segmen CK  pada limfosit yang terdiferensiasi. Keseluruhan segmen DNA ini (LK- VKJK-noncoding- CK) ditranskripsikan dan sekuen noncoding dibuan selama pemrosesan RNA seperti sekuen noncoding atau intron dari gen eukariotik yang lain.
Lambda Light Chain (Rantai Ringan Lambda)
     Rantai ringan lambda juga terkait dari segmen-segmen yang terpisah selama perkembangan limfosit B. Perbedaan utama adalah bahwa setiap segmen Jλ berada besama segmen Cλ, Genome rearrangement yang diperlukan untuk sintesis rantai lambda terjadi penggabungan segmen Lλ- Cλ.  Pada segmen Jλ- Cλ.  Pada tikus hanya memiliki empat segmen Jλ- Cλ, sedangkan manusia memiliki eman segmen.
Heavy Chains (Rantai Berat)

Pengkode informasi genetic rantai berat antibody diorganisasi menjadi segmen gen LH-VH,JH, dan CH  yang analog pada rantai ringan kappa, tetapi terdapat segmen tambahan uga men D Diversity (keanekargaman) yang mengkode 2-13 asam amino yang berada di daerah variabel. Daerah varibael pada rantai berat dikode oleh tiga segmen gen yang terpisah yang bergabung selama perkembangan limfosit B. Sebagai tambahan terdapat satu sampai empat segmen gen CH untuk setiap kelas Ig. Pada tikus terdapat 8 segmen gen CH yang semuanya fungsional dan memiliki susunan tertentu. Pada manusian terdapat 9 atau 10  segmen gen CH. kelompok gen CH manusia juga mengandung 2 gen nonfungsional yang disebut pseudogene dengan struktur yang sangat mirip. Pseudogenes merupakan dulikasi sebagian dari gen srtuktural yang mengalami perubahan yang secara biologis mereka tidak aktif dan biasanya tidak ditranskripsikan yang banyak dijumpai pada eukariotik.
Pada sel-sel germ line tikus terdpata sekitar 300 segmen gen LH-VH yang menyerupai segmen gen 10-500D, segmen gen 4 JH, dan semen gen 8 CH. Selama perkembangan limfosit B dari stem cell terjadi penggabungan rekombinasi somatic yang menggabungkan sau segmen gen LH-VH dengan satu segmen D dan satu segmen gen JH, delesi dua sekuen intervening DNA membentuksekuen DNA kkontinyu (VHDJH) yang mengkode keseluruhan rantai berat.
7.        CLASS SWITHING
Pada saat sintesis antibody dimulai dalam perkembangan limfosit B semua segmen gen CH tetap ada terpisah dari segmen gen yang baru terbentuk yaitu gen LH-VHDJH dari sekuen noncoding yag memendek. Pada tahap ini semua antibody yang disintesis memiliki rantai berat IgM, bila suatu antigen dikenali dan diikat antibody  pada permukaan limfosit B yang sednag berkembang, sel tersebut menstimulasi diferensiasi menjadi limfosit B dewasa. Selama diferensiasi beberapa sel limfosit B akan di swith dari penghasil antibody kelas IgM menjadi beberapa penghasil antibody kelas lain. Fenomena ini disebut class swithing yang melibatkan genome rearrangement selam segmen CH yang terdekat pada gabungan segmen gen LH-VHDJH mengalami delesi. Kelas antibody yang dihasilkan setelah class switching ditentukan oleh gen yang menjadi terdekat dengan segmen gen LH-VHDJH.

























KROMOSOM KELAMIN


Erosi Kromosom Y
            Setelah terbentuknya kromosom proto Y mengalami proses evolusi spesifik yang disebut sebagai erosi kromosom. Erosi kromosom proto Y terjadi melalui pola-pola yang hingga sekarang masih bersifat hipotesis. Dikenal dua pola erosi evolusioner kromosom proto Y yang utama. Pola erosi kromosom pertama adalah yang melibatkan “Muller’s Ratchet”. Pola kedua berupa fiksasi mutan-mutan tepaut Y yang merugikan melalui “hitchhiking” dengan mutasi-mutasi yang menguntungkan secara selektif pada kromosom proto Y.Muller’s Ratchet” bersangkut paut dengan hilangnya kelompok kromosom yang membawahi mutan-mutan merugikan dalam jumlah yang paling kecil, dari suatu populasi terbatas akibat “genetic drift”. Peristiwa tersebut mengakibatkan peningkatan progresif jumlah rata-rata alela-alela merugikan per individu.
Evolusi Determinasi Kelamin X/A dan Sistem Kromosom Kelamin XO
            Sistem determinasi kelamin yang didasarkan pada keseimbangan X/A dtemukan pada Drosophila, C.elegans, dan Rumex mungkin ditemukan juga pada burung. Sebagaimana yang dikemukakan Westergaard, terlihat bahwa sistem keseimbangan X/A berevolusi dari sistem krmosom Y penentu kelamin jantan.
            Pada dasarnya data komparatif tentang hubungan evolusioner antara sistem kromosom kelamin dan pola determinasi kelamin pada berbagai kelompok, masih belum cukup menghsilkan suatu rekontruksi sejarah evolusi sistem determinasi kelamin X/A. dalam hubungan ini, erbedaan antara takson-takson besar berkenaan dengan pola determinasi kelamin, tampaknya lebih merupakan suatu produk kecelakaan historis, yang memperlihatkan tipe-tipe mutan yang terjadi di tahap-tahap awal evolusi mekanisme-mekanisme tersebut pada berbagai kelompok, daripada merupakan hasil dari aneka ragam tekanan selektif.
            Diduga pula bahwa ekspresi ff dibutuhkan untuk perkembangan kelamin betina dan tidak adanya produk ff – misalnya karena kehadiran suatu alela f sterilitas betina yang dominan – mengarah kepada perkembangan parsial atau lengkap kelamin jantan. Perkembangan parsial jantan merupakan perkembangan keadaan kelamin tergabung kea rah kelamin jantan, sesuai dengan perluasan scenario yang semula didiskusikan untuk evolusi kromosom proto X dan proto Y. Oleh karena itu, pembentukan suatu kromosom proto Y yang membawa ff dan mF berakibat munculnya individu-individu jantan parsial (pada tingkat fenotif). Kenyataan tentang evolusi determinasi kelamin X/A yang berasl dari sistem determinasi kelamin X/Y dapat dilihat pada marga Rumex. Di kalangan marga Rumex  kedua sistem determinasi kelamin itu ditemukan pada beberapa spesies.


KEBAKAAN YANG TERPAUT KELAMIN
            Kebakaan yang terpaut kelamin dikontrol oleh gen-gen yang terpaut pada kromosom kelamin (Gardner dkk., 1991). Jelaslah kajian tentang kebakaan yang terpaut kelamin, sama sekali bukan bermaksud menyatakan bahwa macam kebakaan ini mempengaruhi ekspresi kelamin.
Penemuan Morgan Tentang Pautan Kelamin Pada Drosophila
            Temuan pertama tentang kebakaan yang terpaut kelamin adalah pada Drosophila, sebagaimana yang dilaporkan T.H. Morgan pada tahun 1910, dan gen terkait dengan kebakaan yang terpaut kelamin itu terletak pada kromosom kelamin X, tepatnya pada lokus. Atas dasar kenyataan bahwa individu jantan hanya memiliki satu kromosom X dan sebuah kromosom Y yang tidak memiliki sebagian besar gen pada kromosom X, dinyatakan bahwa alela mata putih tersebut pada individu jantan tergolong hemizigot (Gardner dkk.,1991) oleh karena itu alela tersebut diekspresikan.
Pola-pola Kebakaan dari Gen-gen yang Terpaut Kelamin
            Sebagian besar gen yang terpaut kelamin pada hewan-hewan jantan heterogamete terletak pada kromosom X (Gardner dkk.,1991). Dikatakan lebih lanjut, namun demikian beberaqpa hewan dapat memiliki sejumlah kecil gen pada kromosom Y yang menghasilkan efek-efek fenotif. Informasi yang baru dikemukakan ini hanya berlaku untuk kelompok makhluk hidup yang mempunyai kromosom kelamin XX-XY. Di kalangan makhluk hidup yang mempunyai kromosom kelamin ZZ-ZW, juga dijumpai kebakaan genetic yang terpaut kromosom kelamin (Stansfield, 1983).
            Pewarisan sifat-sifat (fenotif) yang terpaut kromosom kelamin X mengikuti suatu pola khas, yaitu crisscross pattern of inheritance (Stansfield, 1983; Gardner dkk.,1991). Crisscross pattern of inheritance adalah pola pewarisan menyilang. Dalam hal ini suatu sifat fenotif yang ada pada induk betina diwariskan dan terekspresi pada turunan jantan (Rothwell, 1983); dan yang ada pada induk jantan diwariskan (tidak terekspresikan) melalui turunan betina keturunan jantan F2 dan diekspresikan (Gardner dkk, 1991). Sifat-sifat yang terpaut kromosom kelamin X yang memiliki pola pewarisan demikian lebih mudah dipahami pada sifat-sifat yang dikontrol oleh gen-gen resesif.
            Pewarisan dan ekspresi sifat-sifat yang terpaut kromosom kelamin X pada individu betina mengikuti pola yang sama, sebagaimana sifat-sifat yang dikontrol oleh alela-alela yang terdapat pada autosom. Fenotif-fenotif resesif sifat yang terpaut kromosom kelamin X induk betina hanya tampak pada keadaan homozigot. Pada manusia sifat-sifat (resesif) yang terpaut kromosom kelamin X pada laki-laki diwariskan secara crisscross. Sifat-sifat tersebut tidak dapat langsung diwariskan kepada anak laki-laki seperti halnya pada D.melanogaster. Pewarisan sifat-sifat (resesif) terpaut kromosom kelamin X pada perempuan diwariskan seperti hlnya pada D.melanogaster. Di lain pihak sifat-sifat yang terpaut kromosom kelamin Y selalu hanya diwariskan dari ayah dan terekspresi pada semua anak laki-laki (Stansfield, 1983; Gardner dkk., 1991) tidak seperti halnya pada D.melanogaster; sebagaimana diketahui alela penentu kelamin jantan manusia terdapat pada kromosom kelamin Y.
Gen-gen yang Terpaut Kelamin Pada Drosophila melanogaster
Di kalangan D.melanogaster, gen-gen yang terpaut kromosom kelamin X antara lain (ditunjukkan dalam bentuk mutan) yellow, white, vermilion, miniature, rudimentary (Ayala dkk., 1984); masih banyak gen-gen terpaut kromosom kelamin X pada D.melanogaster yang sudah dilaporkan.
Gen yang Terpaut Kromosom Kelamin Z Pada Unggas
 Pola pewarisan terpaut kelamin ZZ-WZ (misalnya pada burung) pada dasarnya sama dengan yang ditemukan di lingkungan mammalia, terkecuali yang bersifat hemizigot adalah individu betina, bukan individu jantan (Maxson dkk., 1985).
Sifat-sifat yang Terpaut Kromosom Kelamin X Pada Manusia
Sebagaimana yang telah ditemukan gen Tfm mengendalikan pembentukan suatu protein pengikat testosterone. Sebaliknya, pria yang memiliki gen Tfm mengidap sindrom testicular feminization. Pada sindrom itu sel-sel embrio sama sekali tidak peka terhadap efek maskulinisasi dari testosterone. Berkenaan dengan sindrom testicular feminization tersebut, pada dasarnya informasi dari Maxson, dkk.,(1985) tidak berbeda. Dikemukakan bahwa pada pengidap sindrom itu, produksi antigen H-Y berlangsung normal, serta terjadi pula degenerasi saluran Muller seperti biasanya.
Pada manusia sudah ditemukan lebih dari 200 sifat yang dinyatakan sebagai terpaut kromosom kelamin X (Gardner, dkk., 1991); sifat-sifat itu antara lain: atrofi optic (degenerasi syaraf mata), glaucoma juvenile (penebalan bola mata), myiopia (rabun dekat), defective iris, epidermal cyst, distichiasis (double eyelashes), white occipital lack of hair, mitral stenosis (abnormalitas katup mitral jantung) dan beberapa bentuk keterbelakangan mental.
Pada manusia identifikasi sifat-sifat yang terpaut kelamin didasarkan pada telaah silsilah. Beberapa kriteria untuk identifikasi sifat-sifat yang terpaut kromosom kelamin X atas dasar telaah sisilah akan dikemukakan lebih lanjut (Gardner, dkk., 1991).
1.    Sifat tersebut lebih sering ditemukan pada laki-laki disbanding pada perempuan.
2.    Sifat tersebut diwariskan dari seorang pria yang memiliki sifat itu (penderita) kepada separuh cucu laki-laki melalui anak perempuannya.
3.    Suatu alela yang terpaut X tidak pernah diwariskan langsung dari ayah kepada anak laki-laki.
4.    Semua wanita pemilik sifat tersebut (penderita) mempunyai seorang ayah yang juga pemilik sifat itu (penderita) serta seorang ibu carrier atau juga yang merupakan pemilik sifat itu (penderita).
Contoh-contoh cacat bawaan resesif yang sangat merugikan terpaut kromosom kelamin X pada manusia antara lain (Gardner, dkk., 1991):
1.    Lesch-Nyhan Syndrome (Congenital Hyperuricemia);
2.    Duchene-type Muscular Dystrophy,
3.    Hunter Syndrome
Pada penderita Lesch-Nyhan Syndrome, produksi asam urat berlebih. Para penderita ini mengalami defisiensi HPRT (Hypoxanthine-Guanine Phosphoribosyl Transferase), yang berperan pada biosintesis nukleotida.
Pada Duchene Type Muscular Distrophy, janin berkelamin jantan dapat diidentifikasi melalui studi kromosom (Gardner, dkk., 1991). Cacat itu biasanya diidap pria sebelum umur belasan tahun, yang ditandai dengan kemunduran otot yang berkembang cepat selama awal umur belasan tahun.
Cacat Hunter Syndrome ditandai dengan keterbelakangan mental, tampang kasar, hirsutism (abnormal hairiness), serta suatu tampilan wajah khas yang meliputi tulang hidung lebar, serta lidah menjulur panjang. Gejala-gejal itu muncul pada awal masa kana-kanak.
Gen-gen yang Terdapat Pada Kromosom Kelamin Y Manusia
            Sebagaimana sifat-sifa yang terpaut kromosom kelamin X, terdeteksi sifat-sifat yang dikontrol oleh gen-gen holandrik, juga dilakukan atas dasar telaah silsilah. Seperti yang telah disebutkan sifat-sifat pada manusia yang dikontrol oleh gen-gen holandrik selalu dan hanya diwariskan dari seorang ayah kepada semua anak laki-laki.
            Beberapa gen holandrik pada manusia yang sudah dilaporkan antara lain (Suryo, 1989) h (hypertrichosis), hg (hystrixgravier) dan wt (untuk jari-jari berselaput). Ada pula gen-gen holandrik lain pada manusia yang sudah ditemukan adalah H.Y (Rothwell, 1983;Gardner, dkk., 1991) dan TDF (Gardner,dkk., 1991). Gen h (resesif) menyebabkan hypertrichosis  yaitu tumbuhnya rambut di bagian tertentu di tepi daun telinga (Suryo, 1989). Dinyatakan bahwa ada telaah silsilah yang memperlihatkan hypertrichosis memiliki latar belakang genetik autosomal. Gen hg (resesif) menyebabkan pertumbuhan rambut panjang dan kaku di permukaan tubuh (Suryo, 1989) sehingga menyerupai duri landak. Gen wt (resesif) menyebabkan tumbuhnya kulit di antara jari-jari (terutama jari kaki). Tangan atau kaki orang tersebut mirip dengan kaki katak atau burung air (Suryo, 1989).
            Gen H-Y terletak pada lengan pendek dari kromosom kelamin Y (Gardner, dkk., 1991). Gen H-Y adalah suatu gen histocompatibilitas. Gen H-Y ini bertanggung jawab terhadap penentu/pengenal antigen (antigenic determiners) pada jaringan individu jantan (Rothwell, 1983). Selain gen-gen yang terpaut kromosom kelamin Y pada manusia yang telah dikemukakan, dpat ditambahkan bahwa gen dominan pengendali sexreversed trait sudah dilaporkan juga (Bab 1) terpaut pada kromosom kelamin Y (Ayala, dkk., 1984) tepatnya di bagian ujung; sebagaimana yang telah dikemukakan, gen dominan itu dinyatakan juga bertanggung jawab langsung atas perkembangan gonade embrional menjadi sebuah testis.

 SIFAT-SIFAT YANG TERPENGARUH KELAMIN
            Sifat-sifat yang terpengaruh kelamin bukan merupakan bagiandari kebakaan yang terpaut kelamin. Gen-gen yang mengontrol sifat-sifat yang terpengaruh kelamin dapat terletak pada autosom atupun pada bagian homolog dari kromosom kelamin (Stansfield, 1983). Akan tetapi Maxson, dkk., (1985) menyatakan bahwa gen-gen yang terpengaruh kelamin terdapat hanya pada autosom. Dalam hal ini dinyatakan lebih lanjut, bahwa ekspresi dominan atau resesif oleh alela dari lokus-lokus yang terpengaruh kelamin berubah pada individu jantan dan betina, terutama berkaitan dengan perbedaan lingkungan internal yang disebabkan oleh hormon-hormon kelamin.
            Berkena dengan sifat yang terpengaruh kelamin, ada sumber yang menyebutnya sebagai dominansi yang dipengaruhi kelamin (Gardner, dkk., 1991). Dalam hal ini dinyatakan bahwa dominansi alela-alela pada keadaan heterozigot dapat berbeda pada kedua kelamin. Dinyatakan pula bahwa gen-gen yang terkait dengan dominansi yang dipengaruhi kelamin terletak pada autosom, dan bukan pada kromosom kelamin;namun demikian pada penjelasan lanjutan, terlihat bahwa yang dimaksud dengan “bukan pada kromosom kelamin”, adalah “bukan pada bagian nonhomolog dari kromosom kelamin”.

SIFAT-SIFAT YANG TERBATAS KELAMIN
            Sifat-sifat yang terbatas kelamin tidak sama dengan sifat-sifat yang terpengaruh kelamin, dan bukan merupakan bagian dari kebakaan yang terpaut kelamin. Sifat-sifat yang terbatas kelamin bersangkut-paut dengan ekspresi gen yang berbeda pada tiap kelamin. Berkenaan dengan sifat-sifat yang terbatas kelamin tersebut, ada sumber yang menyatakan bahwa beberapa gen autosomal hanya berekspresi pada salah satu kelamin (Stanfield, 1983). Contoh sifat yang terbatas kelamin misalnya kemampuan produksi susu yang hanya dijumpai pada sapi betina, pada hal gen untuk produksi susu juga terdapat pada sapi jantan (Stansfield, 1983;Gardner dkk., 1991).

Rasio Kelamin (Kajian Pada Manusia)
            Oleh karena ekspresi kelamin pada manusia ditentukan gen pada kromosom Y, dan karena pria menghasilkan gamet-gamet pembawa kromosom X dan pembawa kromosom Y dalam jumlah yang hampir sama, maka atas dasar hokum pemisahan Mendel kedua kelamin seharusnya memperlihatkan proporsi 1:1 (maxson dkk., 1985). Akan tetapi pada manusia rasio kelamin berbeda-beda pada berbagai kelompok umur. Dalam hubungan ini dinyatakan bahwa rasio kelamin primer (di saat konsepsi) sekitar 1,60 (jantan):1,00 (betina).


  

KROMOSOM KELAMIN

BAB II
KROMOSOM KELAMIN

Penentu ekspresi kelamin adalah gen. macam krmosom kelamin yang telah dilaporkan adalah X,Y (pada XY) dan Z,W (pada ZW). Pengkajian berbagai hal mengenai kromosom kelamin bukan bertujuan untuk menyatakan bahwa yang menetukan ekspresi kelamin adalah kromosom kelamin tetapi yang bertanggung jawab atas munculnya fenotip kelamin apapun adalah gen yang terletak pada autosom, pada kromosom kelamin ataupun pada keduanya.
Sejarah penemuan kromosom kelamin
Pada tahun 1981 ahli bioogi Jerman Henking menemukan bahwa suatu struktur inti tertentu dapat ditemukan selama spermatogenesis serangga tertentu. Separuh sperma menerima struktur ini sedangkan yang separuhnya lagi tidak. Henking mengidentifikasinya sebagai “X-body” dan menyatakan sperma dipilah atas dasar ada tidaknya “X-body”. Pada tahun 1902 C.E McClung mengitkan X-body dengan determinasi kelamin tetapi secara salah menyatakannya spesifik untuk individu kelamin jantan. Pada abad ke-20 E.B Wilson menyatakan bahwa X-Body yang dilaporkan Henking adalah kromosom kelamin atau kromosom X. E.B Wilson menyatakan lebih lanjut bahwa XX akan menjadi individu betina dan XY akan menjadi individu jantan.
Evolusi Kromosom Kelamin
        Evolusi kromosom kelamin berawal dari keadaan tanpa kromosm kelamin menuju ke kondisi ada kromosom kelamin yang terungkap pada berbagai takson makhluk hidup.
a)        Evolusi kromosom kelamin X dan Y pemula
Asal mula evolusi kromosomkelamin primitif dimulai dari pemisahan kedua fungsi kelamin pada individu terpisah (dioceus) dari individu kelamin tergabung (coseksual). Keadaan kelamin tergabung ini banyak diketahui terdapat pada tumbuhan, avertebrata, dan spesies ikan.
Transisi sederhan adari keadaan kelamin tergabung menjadi kelamin terpisah sempurna ini adalah melalui keadaan mutasi pada dua lokus. Salah satu lokus adalah f  yang mengontrol fungsi betina sedangkan lokus lainnya adalah m yang mengontrol fungsi jantan. Daya seleksi memunculkan keadaan transisi evolusioner berupa tahap gynodiocy (Polimorfisme untuk individu jantan steril ataupun individu kelamin tergabung). Mekanisme mutasi pada dua lokus diikuti oleh proses seleksi dan pengurangan rekombinasi yang akan memunculkan kromosom proto X dan kromosom proto Y. Setelah terbentuknya kromosom tersebut masih ada proses seleksi lebih lanjut terkait seleksi alel yang mrnguntungkan individu jantan tetapi merugikan individu betina dan mengarah pada diferensiasi genetic.
b)        Erosi Kromosom Y
            Setelah terbentuknya kromosom proto Y mengalami proses evolusi spesifik yang disebut sebagai erosi kromosom. Erosi kromosom proto Y terjadi melalui pola-pola yang hingga sekarang masih bersifat hipotesis. Dikenal dua pola erosi evolusioner kromosom proto Y yang utama. Pola erosi kromosom pertama adalah yang melibatkan “Muller’s Ratchet”. Pola kedua berupa fiksasi mutan-mutan tepaut Y yang merugikan melalui “hitchhiking” dengan mutasi-mutasi yang menguntungkan secara selektif pada kromosom proto Y. “Muller’s Ratchet” bersangkut paut dengan hilangnya kelompok kromosom yang membawahi mutan-mutan merugikan dalam jumlah yang paling kecil, dari suatu populasi terbatas akibat “genetic drift”. Peristiwa tersebut mengakibatkan peningkatan progresif jumlah rata-rata alela-alela merugikan per individu.
Evolusi Determinasi Kelamin X/A dan Sistem Kromosom Kelamin XO
            Sistem determinasi kelamin yang didasarkan pada keseimbangan X/A dtemukan pada Drosophila, C.elegans, dan Rumex mungkin ditemukan juga pada burung. Sebagaimana yang dikemukakan Westergaard, terlihat bahwa sistem keseimbangan X/A berevolusi dari sistem krmosom Y penentu kelamin jantan.
            Pada dasarnya data komparatif tentang hubungan evolusioner antara sistem kromosom kelamin dan pola determinasi kelamin pada berbagai kelompok, masih belum cukup menghsilkan suatu rekontruksi sejarah evolusi sistem determinasi kelamin X/A. dalam hubungan ini, erbedaan antara takson-takson besar berkenaan dengan pola determinasi kelamin, tampaknya lebih merupakan suatu produk kecelakaan historis, yang memperlihatkan tipe-tipe mutan yang terjadi di tahap-tahap awal evolusi mekanisme-mekanisme tersebut pada berbagai kelompok, daripada merupakan hasil dari aneka ragam tekanan selektif.
            Diduga pula bahwa ekspresi ff dibutuhkan untuk perkembangan kelamin betina dan tidak adanya produk ff – misalnya karena kehadiran suatu alela f sterilitas betina yang dominan – mengarah kepada perkembangan parsial atau lengkap kelamin jantan. Perkembangan parsial jantan merupakan perkembangan keadaan kelamin tergabung kea rah kelamin jantan, sesuai dengan perluasan scenario yang semula didiskusikan untuk evolusi kromosom proto X dan proto Y. Oleh karena itu, pembentukan suatu kromosom proto Y yang membawa ff dan mF berakibat munculnya individu-individu jantan parsial (pada tingkat fenotif). Kenyataan tentang evolusi determinasi kelamin X/A yang berasl dari sistem determinasi kelamin X/Y dapat dilihat pada marga Rumex. Di kalangan marga Rumex  kedua sistem determinasi kelamin itu ditemukan pada beberapa spesies.


KEBAKAAN YANG TERPAUT KELAMIN
            Kebakaan yang terpaut kelamin dikontrol oleh gen-gen yang terpaut pada kromosom kelamin (Gardner dkk., 1991). Jelaslah kajian tentang kebakaan yang terpaut kelamin, sama sekali bukan bermaksud menyatakan bahwa macam kebakaan ini mempengaruhi ekspresi kelamin.
Penemuan Morgan Tentang Pautan Kelamin Pada Drosophila
            Temuan pertama tentang kebakaan yang terpaut kelamin adalah pada Drosophila, sebagaimana yang dilaporkan T.H. Morgan pada tahun 1910, dan gen terkait dengan kebakaan yang terpaut kelamin itu terletak pada kromosom kelamin X, tepatnya pada lokus. Atas dasar kenyataan bahwa individu jantan hanya memiliki satu kromosom X dan sebuah kromosom Y yang tidak memiliki sebagian besar gen pada kromosom X, dinyatakan bahwa alela mata putih tersebut pada individu jantan tergolong hemizigot (Gardner dkk.,1991) oleh karena itu alela tersebut diekspresikan.
Pola-pola Kebakaan dari Gen-gen yang Terpaut Kelamin
            Sebagian besar gen yang terpaut kelamin pada hewan-hewan jantan heterogamete terletak pada kromosom X (Gardner dkk.,1991). Dikatakan lebih lanjut, namun demikian beberaqpa hewan dapat memiliki sejumlah kecil gen pada kromosom Y yang menghasilkan efek-efek fenotif. Informasi yang baru dikemukakan ini hanya berlaku untuk kelompok makhluk hidup yang mempunyai kromosom kelamin XX-XY. Di kalangan makhluk hidup yang mempunyai kromosom kelamin ZZ-ZW, juga dijumpai kebakaan genetic yang terpaut kromosom kelamin (Stansfield, 1983).
            Pewarisan sifat-sifat (fenotif) yang terpaut kromosom kelamin X mengikuti suatu pola khas, yaitu crisscross pattern of inheritance (Stansfield, 1983; Gardner dkk.,1991). Crisscross pattern of inheritance adalah pola pewarisan menyilang. Dalam hal ini suatu sifat fenotif yang ada pada induk betina diwariskan dan terekspresi pada turunan jantan (Rothwell, 1983); dan yang ada pada induk jantan diwariskan (tidak terekspresikan) melalui turunan betina keturunan jantan F2 dan diekspresikan (Gardner dkk, 1991). Sifat-sifat yang terpaut kromosom kelamin X yang memiliki pola pewarisan demikian lebih mudah dipahami pada sifat-sifat yang dikontrol oleh gen-gen resesif.
            Pewarisan dan ekspresi sifat-sifat yang terpaut kromosom kelamin X pada individu betina mengikuti pola yang sama, sebagaimana sifat-sifat yang dikontrol oleh alela-alela yang terdapat pada autosom. Fenotif-fenotif resesif sifat yang terpaut kromosom kelamin X induk betina hanya tampak pada keadaan homozigot. Pada manusia sifat-sifat (resesif) yang terpaut kromosom kelamin X pada laki-laki diwariskan secara crisscross. Sifat-sifat tersebut tidak dapat langsung diwariskan kepada anak laki-laki seperti halnya pada D.melanogaster. Pewarisan sifat-sifat (resesif) terpaut kromosom kelamin X pada perempuan diwariskan seperti hlnya pada D.melanogaster. Di lain pihak sifat-sifat yang terpaut kromosom kelamin Y selalu hanya diwariskan dari ayah dan terekspresi pada semua anak laki-laki (Stansfield, 1983; Gardner dkk., 1991) tidak seperti halnya pada D.melanogaster; sebagaimana diketahui alela penentu kelamin jantan manusia terdapat pada kromosom kelamin Y.
Gen-gen yang Terpaut Kelamin Pada Drosophila melanogaster
Di kalangan D.melanogaster, gen-gen yang terpaut kromosom kelamin X antara lain (ditunjukkan dalam bentuk mutan) yellow, white, vermilion, miniature, rudimentary (Ayala dkk., 1984); masih banyak gen-gen terpaut kromosom kelamin X pada D.melanogaster yang sudah dilaporkan.
Gen yang Terpaut Kromosom Kelamin Z Pada Unggas
 Pola pewarisan terpaut kelamin ZZ-WZ (misalnya pada burung) pada dasarnya sama dengan yang ditemukan di lingkungan mammalia, terkecuali yang bersifat hemizigot adalah individu betina, bukan individu jantan (Maxson dkk., 1985).
Sifat-sifat yang Terpaut Kromosom Kelamin X Pada Manusia
Sebagaimana yang telah ditemukan gen Tfm mengendalikan pembentukan suatu protein pengikat testosterone. Sebaliknya, pria yang memiliki gen Tfm mengidap sindrom testicular feminization. Pada sindrom itu sel-sel embrio sama sekali tidak peka terhadap efek maskulinisasi dari testosterone. Berkenaan dengan sindrom testicular feminization tersebut, pada dasarnya informasi dari Maxson, dkk.,(1985) tidak berbeda. Dikemukakan bahwa pada pengidap sindrom itu, produksi antigen H-Y berlangsung normal, serta terjadi pula degenerasi saluran Muller seperti biasanya.
Pada manusia sudah ditemukan lebih dari 200 sifat yang dinyatakan sebagai terpaut kromosom kelamin X (Gardner, dkk., 1991); sifat-sifat itu antara lain: atrofi optic (degenerasi syaraf mata), glaucoma juvenile (penebalan bola mata), myiopia (rabun dekat), defective iris, epidermal cyst, distichiasis (double eyelashes), white occipital lack of hair, mitral stenosis (abnormalitas katup mitral jantung) dan beberapa bentuk keterbelakangan mental.
Pada manusia identifikasi sifat-sifat yang terpaut kelamin didasarkan pada telaah silsilah. Beberapa kriteria untuk identifikasi sifat-sifat yang terpaut kromosom kelamin X atas dasar telaah sisilah akan dikemukakan lebih lanjut (Gardner, dkk., 1991).
1.    Sifat tersebut lebih sering ditemukan pada laki-laki disbanding pada perempuan.
2.    Sifat tersebut diwariskan dari seorang pria yang memiliki sifat itu (penderita) kepada separuh cucu laki-laki melalui anak perempuannya.
3.    Suatu alela yang terpaut X tidak pernah diwariskan langsung dari ayah kepada anak laki-laki.
4.    Semua wanita pemilik sifat tersebut (penderita) mempunyai seorang ayah yang juga pemilik sifat itu (penderita) serta seorang ibu carrier atau juga yang merupakan pemilik sifat itu (penderita).
Contoh-contoh cacat bawaan resesif yang sangat merugikan terpaut kromosom kelamin X pada manusia antara lain (Gardner, dkk., 1991):
1.    Lesch-Nyhan Syndrome (Congenital Hyperuricemia);
2.    Duchene-type Muscular Dystrophy,
3.    Hunter Syndrome
Pada penderita Lesch-Nyhan Syndrome, produksi asam urat berlebih. Para penderita ini mengalami defisiensi HPRT (Hypoxanthine-Guanine Phosphoribosyl Transferase), yang berperan pada biosintesis nukleotida.
Pada Duchene Type Muscular Distrophy, janin berkelamin jantan dapat diidentifikasi melalui studi kromosom (Gardner, dkk., 1991). Cacat itu biasanya diidap pria sebelum umur belasan tahun, yang ditandai dengan kemunduran otot yang berkembang cepat selama awal umur belasan tahun.
Cacat Hunter Syndrome ditandai dengan keterbelakangan mental, tampang kasar, hirsutism (abnormal hairiness), serta suatu tampilan wajah khas yang meliputi tulang hidung lebar, serta lidah menjulur panjang. Gejala-gejal itu muncul pada awal masa kana-kanak.
Gen-gen yang Terdapat Pada Kromosom Kelamin Y Manusia
            Sebagaimana sifat-sifa yang terpaut kromosom kelamin X, terdeteksi sifat-sifat yang dikontrol oleh gen-gen holandrik, juga dilakukan atas dasar telaah silsilah. Seperti yang telah disebutkan sifat-sifat pada manusia yang dikontrol oleh gen-gen holandrik selalu dan hanya diwariskan dari seorang ayah kepada semua anak laki-laki.
            Beberapa gen holandrik pada manusia yang sudah dilaporkan antara lain (Suryo, 1989) h (hypertrichosis), hg (hystrixgravier) dan wt (untuk jari-jari berselaput). Ada pula gen-gen holandrik lain pada manusia yang sudah ditemukan adalah H.Y (Rothwell, 1983;Gardner, dkk., 1991) dan TDF (Gardner,dkk., 1991). Gen h (resesif) menyebabkan hypertrichosis  yaitu tumbuhnya rambut di bagian tertentu di tepi daun telinga (Suryo, 1989). Dinyatakan bahwa ada telaah silsilah yang memperlihatkan hypertrichosis memiliki latar belakang genetik autosomal. Gen hg (resesif) menyebabkan pertumbuhan rambut panjang dan kaku di permukaan tubuh (Suryo, 1989) sehingga menyerupai duri landak. Gen wt (resesif) menyebabkan tumbuhnya kulit di antara jari-jari (terutama jari kaki). Tangan atau kaki orang tersebut mirip dengan kaki katak atau burung air (Suryo, 1989).
            Gen H-Y terletak pada lengan pendek dari kromosom kelamin Y (Gardner, dkk., 1991). Gen H-Y adalah suatu gen histocompatibilitas. Gen H-Y ini bertanggung jawab terhadap penentu/pengenal antigen (antigenic determiners) pada jaringan individu jantan (Rothwell, 1983). Selain gen-gen yang terpaut kromosom kelamin Y pada manusia yang telah dikemukakan, dpat ditambahkan bahwa gen dominan pengendali sexreversed trait sudah dilaporkan juga (Bab 1) terpaut pada kromosom kelamin Y (Ayala, dkk., 1984) tepatnya di bagian ujung; sebagaimana yang telah dikemukakan, gen dominan itu dinyatakan juga bertanggung jawab langsung atas perkembangan gonade embrional menjadi sebuah testis.

 SIFAT-SIFAT YANG TERPENGARUH KELAMIN
            Sifat-sifat yang terpengaruh kelamin bukan merupakan bagiandari kebakaan yang terpaut kelamin. Gen-gen yang mengontrol sifat-sifat yang terpengaruh kelamin dapat terletak pada autosom atupun pada bagian homolog dari kromosom kelamin (Stansfield, 1983). Akan tetapi Maxson, dkk., (1985) menyatakan bahwa gen-gen yang terpengaruh kelamin terdapat hanya pada autosom. Dalam hal ini dinyatakan lebih lanjut, bahwa ekspresi dominan atau resesif oleh alela dari lokus-lokus yang terpengaruh kelamin berubah pada individu jantan dan betina, terutama berkaitan dengan perbedaan lingkungan internal yang disebabkan oleh hormon-hormon kelamin.
            Berkena dengan sifat yang terpengaruh kelamin, ada sumber yang menyebutnya sebagai dominansi yang dipengaruhi kelamin (Gardner, dkk., 1991). Dalam hal ini dinyatakan bahwa dominansi alela-alela pada keadaan heterozigot dapat berbeda pada kedua kelamin. Dinyatakan pula bahwa gen-gen yang terkait dengan dominansi yang dipengaruhi kelamin terletak pada autosom, dan bukan pada kromosom kelamin;namun demikian pada penjelasan lanjutan, terlihat bahwa yang dimaksud dengan “bukan pada kromosom kelamin”, adalah “bukan pada bagian nonhomolog dari kromosom kelamin”.

SIFAT-SIFAT YANG TERBATAS KELAMIN
            Sifat-sifat yang terbatas kelamin tidak sama dengan sifat-sifat yang terpengaruh kelamin, dan bukan merupakan bagian dari kebakaan yang terpaut kelamin. Sifat-sifat yang terbatas kelamin bersangkut-paut dengan ekspresi gen yang berbeda pada tiap kelamin. Berkenaan dengan sifat-sifat yang terbatas kelamin tersebut, ada sumber yang menyatakan bahwa beberapa gen autosomal hanya berekspresi pada salah satu kelamin (Stanfield, 1983). Contoh sifat yang terbatas kelamin misalnya kemampuan produksi susu yang hanya dijumpai pada sapi betina, pada hal gen untuk produksi susu juga terdapat pada sapi jantan (Stansfield, 1983;Gardner dkk., 1991).

Rasio Kelamin (Kajian Pada Manusia)
            Oleh karena ekspresi kelamin pada manusia ditentukan gen pada kromosom Y, dan karena pria menghasilkan gamet-gamet pembawa kromosom X dan pembawa kromosom Y dalam jumlah yang hampir sama, maka atas dasar hokum pemisahan Mendel kedua kelamin seharusnya memperlihatkan proporsi 1:1 (maxson dkk., 1985). Akan tetapi pada manusia rasio kelamin berbeda-beda pada berbagai kelompok umur. Dalam hubungan ini dinyatakan bahwa rasio kelamin primer (di saat konsepsi) sekitar 1,60 (jantan):1,00 (betina).